Sabtu, 18 Juni 2016

Lirik Lagu Daerah Desa Tambaksari berjudul " Lembur Kuring "

Tambaksari..…diriung ku gunung
Ngembat....  mipir  pasir.....
Ngagolontor  walungan ti kaler
Mapay mapay..... sawah ngiplik ngaplak
Nyieun kasuburan, hasilna tatanen

Tambaksari….ngampar kasuburan
Tempat..... pertanian
Pepetetan..... nyengsreng sarirungan
Tutuwuhan.... ligar karembangan
Alam jadi endah, betah tetempoan

Warga reueus.....dina kahirupan
Ngolah.....kekebonan....
Pepelakan.....nyungkur bareutian
Tatangkalan....rumbay baruahan
Geusan ngaronjatkeun, hirup kabagjaan

Lemah lendoh....umat sugih mukti
Tentrem....jero ati....
Batin iman.....leber kataqwaan
Pantes sandang....cukup kadaharan
Imah pageuh mapan, enak keur ngiuhan

Tambaksari.....puser kabudayaan
Leuit....kasopanan....
Umat rukun.....hirup sauyunan
Gotong royong....Gawe babarengan
Geusan ngarengsekeun, widang pangwangunan

Tambaksari…lembur panineungan
Tempat.... pakaulan....
Salawasna..... jadi pangbeberah
Lembur kuring..... jauh kakoncara
Tibeurangna lenglang, tipeuting teu jempling

Arrancemen&pencipta : Wasdam Haryanto

Hamparan Sawah Tengah
Pesawahan Tonjong


Sebuah lagu daerah Desa Tambaksari Kec. Wanareja kab. Cilacap berjudul “ LEMBUR KURING “ yang menggambarkan  sebuah panoramanya sangat indah dipandang. Pepohonan menghijau menandakan daerah subur makmur lohjinawi yang terhampar luas pesawahan membentang betapa suburnya lahan pertanian untuk penghidupan semua penghuninya.
Tambaksari sebuah “lembur  panineungan " tempat  pakaulan”  yang artinya suatu daerah yang selamanya menyenangkan hati untuk semua penduduknya. 

Selasa, 07 Juni 2016

Legenda Gunung Pamidangan dan sungai Cibaganjing Dsn. Gununggeulis Ds. Tambaksari

Gunung Pamidangan ( Gununggeulis )
Gunung PAMIDANGAN terletak di Dusun Gununggeulis Desa Tambaksari Kecamatan Wanareja. Secara geografis adalah sebuah bukit kecil yang subur ditumbuhi pohon Pinus yang masuk wilayah Kawasan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Barat dibawah BKPH Wanareja. Berdasarkan catatan Historis, tempat ini mempunyai cerita sejarah yang tidak kalah penting untuk dilupakan terutama oleh warga masyarakat Desa Tambaksari. Karena tempat ini telah dijadikan basis Persembunyian dan Pertahanan pada Pemberontakan Tentara DI/TII pada tahun 1955. Sementara seluruh warga masyarakat Desa Tambaksari diungsikan didaerah SINGKUP supaya aman dari kebiadaban Tentara DI/TII dengan membuat sebuah Benteng Pagar keliling terbuat dari bambu setinggi 5 meter sebanyak delapan lapis. Pekerjaan ini dipimpin langsung oleh Kuwu Desa Tambaksari Sukarno saat itu yang dikawal oleh pasukan Tentara Nasional Indoneia. Sampai dirasa aman seluruh warga masyarakat, pada tahun 1962 diperintahkan kembali ke Kampung asal masing masing.

Gunung ( PAMIDANGAN ) artinya bersantai / bercengkrama, adalah tempat terakhir yang dijadikan persembunyian Dewi Naganingrum Istri pertama Raja Galuh Permana Dikusuma setelah tidak lagi menjabat jadi raja pergi meninggalkan istana menjadi seorang pertapa. Dewi Naganingrum diusir dari Istana Galuh, karena dituduh melahirkan bayi seekor anjing. Sebenarnya bayinya adalah manusia biasa, tetapi tanpa sepengetahuan Dewi Naganingrum ditukar dengan seekor anak anjing oleh Dewi Pangrenyep mantan istri kedua Permana Dikusuma yang dinikahi oleh Raja Temperan. Itu adalah akal kejahatan Dewi Pangrenyep saja, yang berusaha menyingkirkan Dewi Naganingrum dari istana dengan mengatakan kebohongan kepada rakyat, tapi tidak ada yang percaya kepadanya. Bahkan Uwa lengser tak dapat melakukan apa-apa karena Raja Temperan yang menggantikan Raja Permana Dikusuma serta Ratu Dewi Pangrenyep sangat berkuasa. Raja Temperan memberikan hukuman mati atas Dewi Naganingrum karena dia telah melahirkan seekor anjing, yang dianggap sebagai aib bagi kerajaan. Uwa lengser mendapat perintah untuk melaksanakan eksekusi tersebut. Dia membawa Ratu yang malang itu ke hutan, namun dia tak sampai hati membunuhnya, ia malahan membangunkan sebuah gubuk yang baik untuknya. Untuk meyakinkan Raja Temperan dan Ratu Pangrenyep bahwa ia telah melakukan perintahnya, ia menunjukkan kepada Sang Raja, HATI Dewi Naganingrum beserta pakaiannya yang berlumuran darah. Padahal itu adalah HATI hewan anjing yang sengaja dibunuh untuk tanda bukti ke Istana. Dewi Naganingrum berpesan kepada Uwa Lengser “jangan diberi tahu kepada Rajanya atau siapaun perihal tempat persembunyian itu dengan mengganti nama menjadi Nyi Damar Wulan”  apabila ada dari pihak kerajaan yang tahu dan datang ke gunung Pamidangan, kejadian SIAL pun akan menimpanya. Maka sampai sekarang TABU atau PAMALI bagi siapa saja yang merasa Pegawai/aparat apabila mengunjungi tempat itu. Wallahualam itu hanya Allah yang maha menentukan apa isi yang terkandung  pada pesan itu.

Keramat Uwa Lengser
Bangkai anjing (BUGANG : bhs. sunda) yang disembelih tadi, dibuang ke sungai yang hulunya berasal dari Gunung Pamidangan dinamakan  CIBAGANJING, asal kata CAI-BUGANG-ANJING (air-bangkai-anjing ). Untuk memudahkan menyebut namanya menjadi Sungai CIBAGANJING yang bermuara ke Sungai Citanduy yang panjangnya kurang lebih 15 km. Sementara GUNUNG yang ditempati Putri Cantik / GEULIS (bhs. Sunda) atau Ratu Dewi Naganingrum / Nyi Damar Wulan selanjutnya dipakai nama sebuah dusun GUNUNGGEULIS yang artinya Gunung nan Cantik.

Sekarang kita bisa melihat secara langsung sebuah keramat peninggalan uwa Lengser diantara seberang  sungai Cibaganjing terdapat pula sebuah keramat yang dipercaya tempat kediaman seorang Putra Pangeran Kerajaan Galuh dengan sebutan Prabu Ciung Wanara sebelum mangkat menjadi seorang Raja Galuh menggantikan Raja Temperan untuk menemui Ibundanya Dewi Naganingrum. Sebuah kisah dengan mengalahkan adu sabung ayam maka beliau diangkat manjadi seorang Raja Galuh.

 

Legenda Limus Bandung Dsn. Pakembaran Ds. Tambaksari

Maaf masih dalam penggalian data

Legenda Bale Bandung

Asal usul nama Bale Bandung ( Desa Tambaksari Kecamatan Wanareja Kabupaten Cilacap )


Bale Bandung asal kata Bale yang artinya : Sebuah tempat / rumah yang luas, Bandung artinnya Besar / Agung  / Luhur, jadi jika diterjemahkan yang mempunyai makna sebuah tempat yang agung dan luhur. Sesuai dengan nama dan lokasinya terletak di dataran tinggi dusun Tambaksari Desa Tambaksari Kecamatan Wanareja. Dulunya adalah tempat kediaman keluarga Ki Purwa Kencana dan istrinya, seorang Jagabaya Kerajaan Dayeuhluhur pada masa rajanya Prabu Aria Gagak Ngampar, sengaja ditempatkan disana untuk pengamanan wilayah timur yang menganut agama Hindu. Tempatnya kira-kira 500 m ke arah timur dari Pamalayan. Beliau ditemani empat pengawal setia yang bertugas menjaga keamanan wilayah Bale Bandung. Keempat pengawal itu menepati sebuah rumah menyerupai Istana kecil, didalamnya terdapat satu riung tempat  duduk terdiri dari satu meja dan empat kursih, semuanya terbuat dari batu berjenis pualam. Tetapi sekarang istananya sudah tidak berbentuk lagi, hanya tinggal meja dan kursih saja, kondisinya sudah tampak ditumbuhi lumut belum ada yang berani merawatnya. Sudah jelas tempat itu mempunyai nilai nilai sejarah yang tidak gampang untuk ditelusuri keberadaanya secara pasti.

Untuk mengetahui kebenaran cerita diatas, kami (penulis) telah bertanya kepada seseorang yang masih keturunan dari Ki Puwa Kencana namanya Joko Sutarjo. Beliau adalah turunan kesepuluh dari silsilah Ki Purwa Kencana. Selain itu beliau diberikan kepercayaan oleh para sepuhnya untuk meneruskan merawat tempat petilasan ini. Joko Sutarjo bercerita : pada waktu waktu tertentu sering terdengar suara bunyi gamelan sunda yang sumbernya berasal dari tempat ini. Boleh jadi dengan keagungan Bale Bandung mempunyai sebuah histori yang tidak mudah untuk diteliti dengan kasat mata saja.

Setelah kedatangan Eyang Dalem Tanjungrasa ( 1740 M ), beliau adalah seorang Kyai Penyebar agama Islam asal dari Cirebon. Yang mendapat ijin dari Raksapraja Bupati Dayeuhluhur kala itu untuk mengislamkan wilayah Bale Bandung. Namun sebelum sampai ketempat yang dituju, beliau terlebih dahulu singgah di Pamalayan untuk mendirikan sebuah Pesantren. ( baca:  http://rusmaneffendy70.blogspot.co.id/2015/09/cerita-singkat-desa-tambaksari-eyang.html ) sebelum mendirikan sebuah desa dengan nama Tambaksari yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Wanareja Kabupaten Cilacap Jawatengah.

Dahulu setelah Bale Bandung Di Islamkan oleh Eyang Dalem Tanjungrasa, pernah dijadikan sebuah tempat perundingan para Tokoh Desa Tambaksari yang dipimpin beliau untuk membahas agar bagaimana caranya masyarakatnya aman dari kebiadaban para penjajah Belanda yang mulai masuk wilayah Tambaksari. Sengaja memilih tempat ini sebagai perundingan, selain itu bale bandung merupakan sebuah tempat persembunyian masyarakat Desa Tambaksari dari penjajah belanda saat itu.Cerita ini dibenarkan oleh Bp Amirudin seorang kasepuhan Desa Tambaksari sekaligus mantan Kepala Desa Tambaksari pereode ( 1988 - 1998 ) Baca http://rusmaneffendy70.blogspot.co.id/2015/09/urutan-para-pejabat-kuwu-desa.html
.


Legenda Gunung Gagayunan Batu mengayun pada sebuah akar



Gunung Gagayunan

Tambaksari masuk wilayah kerja kecamatan Wanareja Kabupaten Cilacap adalah sebuah desa yang terletak didaerah perbukitan yang mempunyai pemandangan nan asri. Dikelilingi pegunungan yang ditumbuhi pepohonan yang sangat subur, salah satunya  adalah Gunung Gagayunan. Nama Gagayunan diambil dari kata Ayun atau mengayun, kebetulan sekali diatas gunung tersebut ada sebuah batu seperti mengayun pada sebuah akar yang melingkar pada batu itu. Usianya diperkirakan sudah ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.


Hadi, Kuncen Dusun Kubangreja
Darimanakah asal Batu Gagayunan itu? Pertanyaan yang sulit untuk dijawab timbul dari benak pikiran kami (penulis). Untuk menemukan jawabannya, kami telah menelusuri kepada seorang tokoh masyarakat yang dianggap paham dan mengetahui sekilas asal usul Batu Gagayunan. Namanya adalah Pak HADI, beliau adalah seorang tokoh Tetua dusun Kubangreja Desa Tambaksari Kecamatan Wanareja. Sejak kecil beliau telah menimba ilmu  agama Islam begitu juga ilmu tentang kemasyarakatan yang hubungannya dengan alam sekitar beserta isinya kepada Bapak NURMAWI. Semasa masih hidup Pak NURMAWI adalah seorang tokoh Tetua masyarakat dusun Tambleg Desa Tambaksari yang cukup disegani dan dihormati pada jamannya. Disisi lain beliau juga sangat rajin sekali bertanya serta mempelajari kepada para sesepuhnya untuk mengetahui ilmu pengetahuan yang belum ia dapatkan.

Batu Gagayunan
Sepintas cerita ini sangatlah sulit dipahami oleh akal sehat, apalagi pada jaman serba moderen seperti sekarang ini yang tak bisa dipungkiri tempat pembelajaran mengenai agama Islam berdiri dimana-mana. Alangkah baiknya pengetahuan mengenai alam sekitarpun janganlah dijadikan sebuah alasan untuk mengesampingkan  pengetahuan kita. Hal hal yang berbau mistispun dianggapnya sebagai tindakan yang menduakan kepada Allah Swt. Berbicara masalah Mistis erat kaitannya dengan kepercayaan dan keyakinan seseorang. Apabila tidak seimbang pengetahuan anatara keduanya maka meyebutnya Tahayul, tetapi kami disini ingin menceritakan Cerita Legenda yang berbau Mistis tanpa mengesampingkan keyakinan kita kepada Allah Swt. Contoh kecil perbandingan jaman dulu dengan jaman sekarang : dahulu, ada orang sakti bepergian cukup dengan memejamkan mata saja sudah sampai ketempat yang dituju tanpa menggunakan alat/kendaraan apapun. Sementara jaman sekarang, dengan menggunakan kendaraan motor, mobil bahkan pesawat terbang sekalipun bisa sampai juga ketempat yang diinginkan. Besok (isukan bhs. Sunda) entah seperti apa lagi…?

Beginilah ceritanya : Alkisah ada dua orang Pendekar sakti telah terjadi perang tanding jarak jauh  untuk sama sama mempertahankan dan memperluas wilayah kekuasaanya ingin menjadi seorang penguasa nomor satu pada saat itu. Yang satu mengusai wilayah timur berkedudukan di perbukitan PASIR CENGKAT ( masuk Desa Limbangan Kecamatan Wanareja ) sementara yang satunya lagi bermarkas disekitar GUNUNG GAGAYUNAN ( nama sekarang ) yang terletak di Dusun Tambleg Desa Tambaksari Kecamatan Wanareja. Jarak tempuh antara kedua tempat kurang lebih 10 km.

Perang jaman sekarang, menggunakan peluru yang dikendalikan oleh mesin yang dihubungkan dengan komputer, mampu menghancurkan sebuah tempat cukup menentukan titik koordinat tempat yang dimaksud dari kejauhan yang tak terhingga. Sekilas apabila ilmu pengetahuannya belum sampai, kita tidak akan mampu untuk melakukannya. Tetapi kejadian itu sering kita dengar dan dilihat melalui layar televisi, walaupun kita hanya mendengar ceritanya namun kepercayaan itu pasti ada apalagi kalau bisa melakukannya sendiri.

Mang Kartam:melihat batu Bangkong
(dipercaya batu yang tertinggal)
Berbeda dengan jaman dulu sebut saja namanya Eyang Gagayunan dan Eyang Pasir Cengkat, mereka melakukan perang tanding dengan mengunakan ribuan butir batu yang dikirim dari Pasir cengkat ( Eyang Pasir Cengkat ) melalui angkasa berterbangan menuju sebuah tempat persembunyian Eyang Gagayunan. Eyang Gagayunan pun tidak tinggal diam, beliau membalas dengan cara mengembalikan batu batu tersebut melalui angkasa ketempat persembunyian Eyang Pasir Cengkat. Kejadian itu terus berlanjut sampai akhirnya mereka memutuskan tidak ada yang kalah dan yang menang. Namun ada satu buah batu tertinggal di Gunung Gagayunan dinamakan Batu Bangkong yang menjadikan sebuah identitas tempat ini. Bentuknya menyerupai hewan Bangkong (katak darat) yang akan loncat hendak menerkam mangsanya, seperti tampak pada gambar disamping. Posisinya sekarang tidak jauh dengan batu Gagayunan jaraknya sekitar lima meter kearah bawah.

Sekarang kita hanya bisa melihat Tapak Tilas Eyang Gagayunan, dengan adanya sebuah batu seperti terikat pada sebuah akar yang mengayun, tertanam di tanah pada kemiringan yang sangat curam. Sementara dibawahnya bisa digunakan berteduh untuk satu orang. Konon ceritanya Eyang Gagayunan pernah menempatinya dalam jangka waktu yang lama. Sesuai dengan keadaan diatas gunung, sehingga penduduk sekitar menyebutnya dengan nama GUNUNG GAGAYUNAN. Diperkirakan benda benda tersebut adalah sebuah sisa sisa peninggalan sebagai bukti peradaban pada jaman Batu yang menjadikan sebuah cerita rakyat yang tidak akan hilang dari masa ke masa.

Sementara di Pasir Cengkat (sebuah gambaran) : jika dilihat dari kejauhan pasir/bukitnya tampak seperti miring karena sedikit terangkat (cengkat bhs. sunda), keberadaannya hampir seluruh bukit/pasir banyak sekali terdapat bitiran butiran batu yang konon dipercaya sebagai bukti terjadinya perang tanding pada jaman itu.

Mohon maaf kepada seluruh pembaca, apabila cerita ini agak sedikit melenceng dari aqidah, boleh percaya boleh tidak itu hanya cerita rakyat yang melegenda. Kalau melihat dua perbandingan diatas, apa yang tidak mungkin apabila kita hidup pada dua jaman yang perbedaanya sangat jauh. Namun seandainya kita beranggapan kejadian itu hanya sekedar cerita fiktif belaka, jawabannya adalah tadak akan ada cerita apabila tidak ada sebuah peristiwa pada masa silam.


Legenda Petilasan Mbah Terong Peot Makam Hiji Bakom Dsn. Tambleg Desa Tambaksari Kec. Wanareja Kab. Cilacap

Ada Kemiripan Cerita  Eyang Terong Peot (Batara Pancer Buana) dengan  Petilasan Mbah Terong Peot  (Makam Hiji Bakom) Dsn. Tambleg Desa Tambaksari

A.      Eyang Terong Peot ( Batara Pancer Buana ) Kerajaan Sumedang Larang

Kerajaan Sumedang Larang adalah sebagai kerajaan sunda terbesar, setelah kerajaan Pajajaran runtuh akibat serangan gabungan banten dan Cirebon, maka kerajaan Sumedang Larang semuanya mencakup wilayah bekas kerajaan Pajajaran. 
Pada waktu itu di Kerajaan Sumedang Larang akan diadakan pengangkatan seorang raja, sementara di Pajajaran sedang ditempa kekacauan karena mendapat serangan yang mendadak dari Kerajaan Banten. Serangan tersebut bertujuan untuk menghancurkan kekuasaan agama Hindu dan digantikan oleh Dinul Islam. Pada penyerangan dari Banten dipimpin oleh Syeh Maulana Yusuf yang dibantu oleh Pangeran Kian Santang ( putra Prabu Siliwangi yang ke tiga dari istri Subanglarang)
Ketika mendapat serangan dari Banten yang mendadak itu Pajajaran tidak bisa berbuat banyak, kecuali menerima kekalahan. Kerajaan Pajajaran porak poranda masyarakat banyak yang  mengungsi sehingga rajanya pun (Prabu Siliwangi) pergi meninggalkan kerajaan. Hanya sebelum berangkat beliau memanggil empat patih kepercayaan Kerajaan (Kandaga Lante) , yang masing-masing ialah :

1.    Sanghiyang Hawu (Embah Jaya Perkasa)
2.    Bantara Dipatiwijaya (Embah Nanganan)
3.    Sanghiyang Kondang Hapa
4.    Batara Pancer Buana (Eyang Terong Peot)

Setelah menerima amanat Prabu Siliwangi, maka Kandaga Lante yang empat orang itu telah sepakat bahwa yang pantas menjalankan amanat tersebut tiada lain adalah Raden Angkawijaya. Ini berdasarkan pertimbangan-pertimbangan karena Raden Angkawijaya adalah asli keturunan Prabu Siliwangi begitu juga bekas wilayah kekuasaan Pajajaran dijadikan wilayah Kekuasaan Sumedang Larang.

B.      Petilasan Mbah Terong Peot  (Makam Hiji Bakom) Dsn.Tambleg 
( Kisah asal usul nama Terong Peot )


Prabu Siliwangi adalah seorang Raja Kerajaan Pajajaran yang sangat bijaksana dalam memimpin mahkota kerajaanya. Dari hasil perkawinannya dengan seorang muslimah santri yang berasal dari Pesantren yang dipimpin oleh Syeh Quro di Karawang, Nyai SUBANGLARANG namanya mempunyai anak  diantaranya adalah:
1. Pangeran Walang Sungsang menjadi Raja Pertama Kesultanan Cirebon
2. Nyai Rara Santang, diperistri oleh Raja Mesir Syarif Abdullah
3. Pangeran Kian Santang, seorang Waliyullah penyebar agama Islam di tatar Sunda

Sekilas kisah ini hampir sama dengan  cerita diatas sama-sama menceritakan bagaimana perjuangan Pangeran Kian Santang didalam penyebaran agama Islam ditanah priangan barat dan priangan timur. Hanya saja yang menjadikan sebuah pertanyaanya adalah:

Pertama : Adakah hubungan antara Pangeran Kian Santang dengan Mbah Terong Peot (Makam Hiji Bakom) yang kini hanya tinggal sebuah petilasannya saja?

Kedua : Apakah hubungan antara  Eyang Terong Peot (Batara Pancer Buana) dari Kerajaan Sumedang Larang dengan Mbah Terong Peot ( Makam Hiji Bakom )

Jawaban Pertama :  Menurut cerita yang sumbernya dari pengurus Petilasan Mbah Terong Peot Makam Hiji bakom (Bp Karyo beliau adalah Kuncen Dusun Tambleg Desa Tambaksari) menceritakan bahwa alkisah dari seorang Waliyullah Pangeran Kian Santang melakukan perjalanan dalam rangka penyebaran agama islam sekaligus sebagai utusan kerajaan Pajajaran untuk menjalin hubungan kerjasama dalam berbagai hal, selain itu beliau adalah murid / santri dari Raden Pattah seorang Waliyulah dari kerajaan Demak di tanah Jawa. Beliau ditemani oleh dua orang pengawal setianya yaitu Aki Cakra Gumilang dan Nini Ratna Gumilang yang mempunyai hewan peliharaan seekor Kerbau betina yang sangat besar dan bertanduk dablang. 
Kejadian ini terus berlanjut berulang-ulang, sehingga apabila beliau  melakukan perjalanan selalu singgah beberapa waktu lamanya untuk memulihkan tenaga ditempat ini (Petilasan Makam Hiji Bakom nama sekarang). Selanjutnya tempat ini bukan hanya sekedar dijadikan persinggahan, malahan Beliau menjadikannya  sebuah tempat untuk pusat penyebaran agama Islam di daerah Bakom dan sekitarnya.


                                         Kenapa tempat ini sekarang dinamakan Petilasan MBAH TERONG PEOT MAKAM HIJI BAKOM ? Sebetulnya sebelum ada proyek pelebaran dan pengaspalan  jalan pada tahun 1976, petilasan ini terletak disebelah timur jalan. Sebagai tanda/cirinya ada sebuah pohon yang tinggi dan besar (kiara) dengan nama pohon KI SEGEL yang berbuah lebat seperti TERONG, sehingga apabila buahnya sudah tua akan menjadi PEOT dan jatuh ke tanah. Untuk mengabadikan tempat ini supaya tidak hilang, Kepala Dusun Tambleg Bapak Sumarno dibantu penduduk setempat saat itu membangun sebuah makom baru yang jumlahnya hanya satu (HIJI bhs. Sunda). Tetapi lokasinya dipindah kesebelah barat jalan seperti yang tampak pada gambar. Karena makomnya hanya HIJI (satu) yang terletak di Bakom, maka penduduk setempat memberi nama : PETILASAN MBAH TERONG PEOT- MAKAM HIJI BAKOM.

Jawaban Kedua : setelah melihat penjelasan diatas dari jawaban kesatu sudah jelas bahwa nama MBAH TERONG PEOT MAKAM HIJI BAKOM adalah sebuah petilasan Pangeran Kian Santang yang menggunakan nama dari buah pohon Ki Segel mirip terong yang peot tetapi pohonnya sekarang sudah mati lapuk karena termakan usia, sementara EYANG TERONG PEOT (Batara Pancer Buana) adalah seorang Patih Kerajaan Pajajaran kepercayaan Prabu Siliwangi yang berada di Kerajaan Sumedang Larang. Maka kesimpulannya adalah tempat ini hanya mempunyai kesamaan nama dan istilahnya saja namun orangnya sudah jelas sangat berlainan. 


Mengenai penjelasan dan penafsiran diatas diharapkan bukan hanya sekedar legenda, karena penelusuran catatan sejarah ini sudah ada sejak jaman dulu. Kami (penulis) bermaksud menambahkan sebuah kisah perjalanan seorang Waliyullah Pangeran Kian Santang dalam menyebarkan ajaran agama Islam di Bakom Dsn. Tambleg Desa Tambaksari Kecamatan Wanareja Kabupaten Cilacap.

Sebelum mengakhiri dalam rangka menggali cerita muatan lokal ini, kami mengucapkan terimaksih yang tak terhingga kepada bapak Karyo selaku Kuncen Petilasan mbah Terong Peot yang telah memberikan sekilas cerita turun temurun ini, mudah mudahan bisa menambah wawasan pengetahuan dengan harapan supaya cerita ini tetap ada dan tidak hilang ditelan masa.