A
Perjuangan menyebarkan siar Agama Islam ke tanah Tambaksari Kec. Wanareja.
Berawal dari kisah perjalanan seorang
pemuda santri pesantren yang berasal dari TANJUNGRASA yang terletak
dilingkungan keraton Kasultanan Cirebon sekaligus masih keturunan
kasultanan Cirebon, saat itu kasultanan Cirebon terpecah menjadi tiga wilayah
kekuasaan yang memegang masing-masing wilayah diantaranya:
1. Sultan Karaton Kasepuhan Pangeran Martawijaya dengan gelar Sultan Sepuh Abil
Makarimi Muhammad Samsudin ( 1677-1703)
2. Sultan Kanoman Pangeran Kartawijaya dengan gelar Sultan Anom Abil
Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
3. Pangeran Wangsakerta sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran
Abdul Kamil Muhammad Nasrudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713)
Sekitar tahun 1700 gurunya mengutus santri Tanjungrasa untuk menyebarkan ajaran
agama Islam ke KUNINGAN dan KAWALI, selanjutnya menuju wilayah Dayeuhluhur merupakan kadipaten bawahan kasultanan mataram, waktu itu dipimpin
seorang Adipati yang bernama WIRAPRAJA (1698-1740). Setelah diterima dihadapanNya menghaturkan maksud dan tujuan untuk menyebarkan ajaran agama islam, maka ditunjuklah suatu tempat yang berada disebelah timur dari pusat pemerintahan kadipaten. Bahkan beliau berpesan temuilah
seorang ulama besar di Pesantren Cicadas (masuk kadipaten Majenang) namanya
Kyai SURADIKA, masih kerabat kerajaan Dayeuhluhur anak dari Mbah CIPTAGATI adik
dari PRABU RAKSAGATI Raja Kerajaan Dayeuhluhur ke V dari trah Pajajaran.
|
Keramat Pamalayan di Tambaksari |
Berangkatlah beliau menuju
arah timur sesuai petunjuk Adipati, menelusuri jalan setapak sawah gintung Ciparahu
(nama sekarang), melewati hutan lumba, tibalah beliau disuatu tempat diatas
perbukitan yang ditumbuhi pepohon yang sangat lebat. Dimana tempat tersebut
terdapat sebuah perkampungan yang belum telalu banyak penghuninya. Masyarakat
menamakannya Kampung PAMALAYAN, yang dipimpin seorang kepala kampung yang
bernama KI GEDENG TAMBAK, istrinya bernama Nyi SARI mempunyai anak
perempuan Nyi AGENG TAMBAK.
Sebagai seorang tamu yang baru
datang, beliau diterima dengan sangat ramah dan kekeluargaan beserta jamuan yang dihidangkan oleh Nyi SARI. Setelah menghaturkan maksud dan tujuan
kedatangannya, yaitu untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Akhirnya melalui
ajakan dan ceramah mengenai ajaran yang dibawanya, maka masuklah keluarga Ki
GEDENG TAMBAK beserta istri dan anaknya begitu juga penduduk setempat semuanya
memeluk agama Islam dan meninggalkan agama yang diajarkan karuhun leluhurnya. Selanjutnya, dibantu penduduk setempat
beliau mendirikan Mushola juga tempat untuk mengkaji agama islam
dan ilmu tentang Al qur’an yang letaknya di keramat Pamalayan. Disitulah
dulunya pernah berdiri sebuah pondok pesantren yang dipimpin langsung
Kyai Tanjungrasa. Salah satu santrinya adalah Nyi Ageng Tambak selain
pintar mengaji juga parasnya yang sangat cantik.
Suatu hari, Kyai TANJUNGRASA
berkunjung ke rumah Ki Gedeng Tambak hendak melamar anaknya yaitu Nyi Ageng
Tambak untuk diperistri. Alangkah gembiranya hati kedua orangtuanya, tanpa
berpikir lama langsung saja merestui keduanya. Tidak ada sumber yang
menyebutkan, hari, tanggal dan tahun berapa dilangsungkan pernikahannya
tersebut. Ada yang menyebutkan sudah bertahun – tahun lamanya tidak dikarunia
anak satupun alias gabug ( tidak punya keturunan ). Faktanya sampai sekarang
tidak ada seorangpun yang mengaku sebagai trah keturunan dari Eyang Dalem
Tanjungrasa.
B. Mendirikan Desa Tambaksari Kec. Wanareja - Cilacap
a. Musyawarah Di Bale Bandung ( Dulunya adalah tempat kediaman Ki Purwa Kencana dan istrinya, seorang Jagabaya Kerajaan Dayeuhluhur pada masa rajanya Prabu Aria Gagak Ngampar, sengaja ditempatkan disana untuk pengamanan wilayah timur yang menganut agama Hindu. Setelah kedatangan Kyai
Tanjungrasa, keturunannya di-Islamkan sementara rumahnya dijadikan tempat bermusyawarah para Tokoh Desa Tambaksari pada saat itu ) tempatnya kira-kira 500 m ke arah timur dari Pamalayan.
Setelah Ki Gedeng Tambak dan
istrinya meninggal dunia pimpinan seorang kepala kampung diserahkan kepada
menantunya yaitu Kyai Tanjungrasa. Penunjukan itu adalah hasil musyawarah para tokoh
masyarakat kampung Pamalayan. Dalam musyawarah Kyai Tanjungrasa menyampaikan
keinginannya untuk mendirikan sebuah pemerintahan desa. Anggota musyawarahpun menyetujui
akan usulannya itu. Begitu juga nama desanya penggabungan nama almarhum/almarhumah mertuanya sendiri GEDENGTAMBAK dan SARI menjadi TAMBAKSARI, yang artinya kuranglebih
: Tambak = Bendung, Sari = Rasa, jadi Orang Tambaksari diharapakn bisa
membendung perasaan hatinya dari Hawa Napsu. Ditentukan pula pusat
pemerintahan, sekarang menjadi Balai dusun Tambaksari, dulunya adalah Balai desa
Tambaksari Yang dipimpin langsung oleh Kuwu KYAI TANJUNGRASA. Peristiwa itu
terjadi pada tahun 1740 M.
b. Berkunjung ke
Cicadas ( masuk Ds. Malabar sekarang)
Seiring berjalanannya waktu,
tibalah saatnya Kyai TANJUNGRASA untuk melanjutkan perjalanan siar agama islam
kearah timur meneruskan pesan dari Adipati Dayeuhluhur yang sempat tertunda.
Setelah berpamitan kepada istri serta penduduk setempat tidaklah merasa
keberatan untuk melanjutkan perjuangannya. Kyai TANJUNGRASA berpesan
kepada istri juga santrinya Kyai SUKAHAYU untuk melanjutkan perjuangannya (Pusara Kyai Sukahayu terletak di Kramat Pamalayan). Jangan lupa
sholat lima waktu dan menjalankan syari’at agama islam yang diajarkan selama
ini. Sebelum meninggalkan Pamalayan, beliau sempat menanam sebuah pohon Kiara
JAMBEKONENG, maksudnya sebagai tanda bahwa beliau pernah menempatinya, dengan
harapan apabila akan kembali lagi sudah menjadi pohon yang tinggi dan besar /
kiara ( bhs. Sunda ).
Perjalanan dimulai dari Pamalayan
dilanjutkan kearah timur sampailah disuatu tempat yang diberi nama
SINGKUP, Disana juga beliau menanam pohon kiara Jambekoneng yang tetap tumbuh
sampai sekarang. Dilanjutkan menuruni lereng bukit yang banyak di tumbuhi pohon
JATI, maka tempat itu sampai sekarang di namakan Blok JATI masuk Dusun
Tambleg.
Singkat cerita, Sampailah beliau
ditempat yang dituju yaitu Cicadas. Tempat dimana terdapat sebuah Pesantren yang dipimpin seorang ulama besar saat itu yaitu Kyai SURADIKA. Dalam menyebarkan
siarnya beliau dibantu santrinya yaitu SURADIPA dan MASKIAN keduanya merupakan
anak hasil dari perkawinannya dengan DEWI MASKIAH putri dari Adipati
Dayeuhluhur WIRAPRAJA. Setelah menyampaikan pesan dari Adipati sekaligus
sebagai mertua Kyai Suradika, untuk membantu perjuangan dalam mengembangkan
ajaran agama islam dan perjuangan mengusir penjajah Belanda yang saat itu telah
menguasai kerajaan MARGALUYU.
Selama Kyai Tanjungrasa
mengabdikan diri pada pesantren Cicadas membantu mengajarkan ilmu tentang agama
islam yang telah diperoleh di Cirebon. Kyai Suradika merasa senang hatinya
karena santrinya telah mendapatkan tambahan ilmu. Begitu pula Suradipa dan Maskian
semakin dekat saja hubungan ketiganya. Tetapi alangkah sedih hati mereka
tatkala mendengar bahwa Kyai Tanjungrasa dan ayahnya akan meninggalkan pergi ke Dayeuhluhur, untuk menjalankan tugas membela tanah air agar bebas dari
tangan para penjajah. Namun Suradipa memohon kepada ayahnya agar bisa ikut
berjuang membela negeri tercinta ini. Kyai Suradika pun memberikan ijin kepada
Suradipa untuk ikut dengannya, sementara Maskian tetap tinggal di pesantren
untuk menggantikan ayahnya menjadi pimpinan pesantren.
C.
Berperang Ke Karajaan Margaluyu ( Ciamis Jawabarat )
Sebelum berangkat ke Dayeuhluhur
Kyai Tanjungrasa ditemani Kyai Suradika dan Suradipa, terlebih dulu menyempatkan
berpamitan kepada keluarga yang akan ditinggalkan. Minta ijin serta doa istri
yang berada di Pamalayan, tidak ketinggalan masyarakat Pamalayan pun memberikan
dorongan doa dengan harapan supaya sekembalinya dari peperangan dengan selamat.
Sampailah Kyai Tanjungrasa, Kyai
Suradika dan Suradipa di pusat pemerintahan Kadipaten Dayeuhluhur diterima langsung dihadapan Adipati WIRAPRAJA. Ketiganya mengahaturkan
sembah sungkem dan menunggu apa yang akan diperintahkan kepadanya. Mereka
ditugaskan membantu prajurit untuk menyerang kerajaan MARGALUYU karena saat
itu sudah dikuasai oleh Belanda. Sebelum berangkat masing-masing dibekali
sepucuk Pistol, sebuah keris dan Tumbak agar bisa menjaga diri diharapkan
sebagai alat untuk dapat mengalahkan musuh – musuhnya nanti di medan perang.
Pasukan kerajaan dipimpin
langsung oleh Adipati WIRAPRAJA, Dibelakangnya pasukan prajurit yang
gagah perkasa. Tidak ketinggalan pejuang asal Tambaksari dan pesantren
Cicadaspun ada didalamnya. Sebelum melancarkan serangan, pasukan
diperintahkan berhenti sejenak (ngarandeg-bhs, sunda) untuk istirahat
memulihkan tenaga setelah perjalanan jauh sekali. Ahirnya tempat tersebut
dinamakan RANDEGAN sampai sekarang masuk wilayah KOTATIP KOTA BANJAR PATROMAN.
Tak lama kemudian pasukan tambahan dari Kerajaan PASIRLUHUR dan MATARAM pun datang, maka
lengkaplah sudah apa yang telah direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya
telah berkumpul ditempat yang telah di tentukan.
Genderang peperangan di kerajaan
MARGALUYU sudah dimulai, Serangan ini merupakan serangan balasan, karena pada
saat itu sebagian wilayah Kadipaten Dayeuhluhur telah dikuasai kerajaan
Margaluyu. Para prajurit dengan gagah berani menumpas musuh-musuhnya. Hasilnya
sangat memuaskan, prajurit musuh lari tunggang langgang. Darahpun telah
membanjiri kota kerajaan, yang menimbulkan bau anyir/AMIS (bhs jawa) maka tempat itu
dinamakan CIAMIS sampai sekarang menjadi sebuah kota kabupaten di Jawabarat.
Kedudukan kotaraja telah beralih,
kini prajurit Dayeuhluhur telah menguasai Margaluyu. Namun serangan balik dari prajurit
Margaluyu datang kembali dibantu tentara penjajah Belanda dengan menggunakan
peralatan perang yang lebih moderen sehingga perlawanan tidak seimbang
mengakibatkan parajurit Dayeuhluhur kalah. Bahkan yang sangat menyedihkan Adipati
Wirapraja gugur dalam peperangan. Jasadnya dibawa ke Dayeuhluhur dimakamkan di
Pesarean kulon (sumber sejarah-dayeuhluhur.blogspot.com)
D. Kembali ke Pamalayan Desa Tambaksari
Setibanya di Dayeuhluhur dengan
duka yang mendalam semua pembesar kadipaten maupun rakyatnya tidak
menjadikan hati Kyai Tanjungrasa patah semangat. Beliau kembali ke Tambaksari
menengok keluarga yang telah lama ditinggalkan, ditemani DIPADIRANA dan
DIPAKERTA serta kakak perempuannya seorang muslimah bernama Nyi ARUMSARI yang
nantinya menjadi istri yang kedua setelah berpisah dengan Nyi Ageng Tambak. Suradipa memilih tinggal dulu di Dayehluhur (sumber cerita Suradipa
menikahi putri Dayeuluhur menurunkan kuwu Desa Tambaksari. Sementara Eyang Suradika kembali ke Pesantren nya di Cicadas.
Diceritakan pula DIPADIRANA pergi meninggalkan Tambaksari untuk menyebarkan agama islam ke daerah Bantar Kec. Wanareja sampai akhir hayatnya.
Sementara Eyang DIPAKERTA menjadi seorang petani yang berjasa membuka hutan diolah menjadi lahan pesawahan. Setelah beliau meninggal dunia, karena tidak mempunyai keturunan maka seluruh hartanya dihibahkan kepada pemerintah Desa. Termasuk sawah seluas 1.3 Ha yang dijadikan lahan sebagai imbalan bagi siapa saja yang menjabat Kuwu sampai sekarang dengan sebutan Sawah BENGKOK Desa.
Kepulangan dari dayeuhluhur Kyai Tanjungrasa datang di Pamalayan pada tengah
malam, mendapati istrinya sedang tidur nyenyak. Tidak enak rasanya untuk
membangunkan dari tidurnya, beliau masuk rumah tidak lewat pintu melainkan
melalui lobang angin-angin yang ukurannya lebih kecil dari tubuhnya, tetapi
dengan kekuasaan Allah beliau bisa masuk ke dalam rumah. Tanpa basa basi beliau
masuk ke kamar istrinya. Namun kejadian tidak disangka sangka, Beliau ditendang istrinya sampai keluar kamar, Nyi Ageng Tambak mengira ada orang lain
yang akan berlaku kurang ajar pada dirinya. Sepengetahuan Nyi Ageng Tambak, suaminya
sedang berjuang melawan penjajah, ditambah
ada kabar bahwa pasukan Dayeuhluhur kalah dalam peperangan. Anggapanya, Kyai Tanjungrasa pun gugur bersama Adipati dan pasukannya, padahal hanya
Adipati Wirapraja sajalah yang gugur di medan peperangan. (catatan: kisah ini
jangan disalah artikan yang lain-lain karena itu adalah merupakan bentuk sebuah bukti kesetiaan
seorang istri kepada suaminya).
Dengan perasaan bersalah, beliau
pergi meninggalkan rumahnya dari pamalayan. Ada anggapan di masyarakat kampung Tambaksari Kyai
Tanjungrasa NGAHIYANG / SIRNA, sebenarnya sejak peristiwa itu Kyai Tanjungrasa
pergi ketempat lain bersama teman seperjuangannya.
Dengan adanya sebuah keramat dan pusara Eyang Dalem Tanjungrasa beserta
Nyi Arumsari yang terletak di blok Cipari-Kubangreja Desa Tambaksari adalah sebagai bukti bahwa beliau pernah berada ditempat itu, namanya tetap harum dan melegenda sampai sekarang. Sekaligus sebagai
jawaban persepsi simpangsiurnya anggapan masyarakat kampung Tambaksari bahwa Eyang Dalem Tanjungrasa ngahiang atau sirna itu tidak demikian. Yang benar adalah
Eyang Dalem Tanjungrasa pergi dari Pamalayan, dengan maksud memindahkan pusat pemerintahan desa dari kampung Tambaksari ke Cikapas.
E.
Pusat Pemerintahan Desa Tambaksari dipindahkan ke CIKAPAS.
Kembali beliau meninggalkan
Pamalayan yang kedua kalinya bersama teman seperjuangan yaitu, DIPAKERTA,
ARUMSARI dan DIPADIRANA. Dengan menuruni lereng Gunung GAGAYUNAN sampailah disuatu tempat (sawah cobaan nama sekarang...Baca juga Disitulah beliau mendiamai tempat
itu ( NAMBLEG, bhs sunda ) maka sampai sekarang wilayah itu dinamakan Kampung
TAMBLEG. Disanalah mereka bertemu di rumah Eyang GUNA serta LINGGA
Untuk sementara waktu beliau
menempati tempat itu, menurut cerita rumah Eyang Guna terletak diatas NUSA sebelah timur
jalan sedangkan rumah Kyai Tanjungrasa dan temannya diatas NUSA disebelah
barat jalan Cobaan ( Nusanya sampai sekarang masih ada dan terawat ).
Tidak banyak yang dikerjakan ditempat itu, tetapi dari hasil musyawarah berempat mendapat kesepakatan untuk
memindahkan pusat pemerintahan Desa Tambaksari ke tempat yang baru. Tempat yang
dipilih adalah lahan kebun kapas, yang diapit sebelah timur hulu
sungai Cikapas yang bermuara ke Sungai Cibaganjing dan sebelah barat hulu
sungai Cirangkong juga bermuara ke sungai yang sama selanjutnya
tempat itu dinamakan CIKAPAS ( sekarang blok Desa – Kubangreja Desa Tambaksari). Beliau
bersama-sama teman seperjuangan, Eyang Guna dan Lingga dibantu masyarakat
mendirikan sebuah Balai Desa yang terbuat dari 4 tiang penyangga dipilih dari
kayu kualitas terbaik saat itu, memakai atap berbahan dari ijuk yang
sangat kuat untuk menahan cuaca panas maupun dimusim penghujan sekalipun.
Bangunan itu nantinya digunakan untuk tempat pertemuan para aparat desa
dengan rakyatnya.
Sumber cerita menyebutkan bahwa kedudukan Balai Desa yang terletak di Cikapas dilanjutkan oleh beberapa generasi Pejabat Kuwu Setelah Eyang Dalem Tanjungrasa diantaranya: Kuwu Bangsareja, Sajeg, Surawijaya, Sawal, Surasantana, Astasantana dan Sukarno. Setelah Desa Tambaksari dinyatakan aman dari kebiadaban pemberontakan DI/TII, tahun 1962 Balai Desa Tambaksari yang semula di Cikapas dipindahkan oleh Kuwu Sukarno ke Blok Karangsenang - Kubangreja sampai sekarang) dengan pertimbangan setelah ditinggal mengungsi ke Singkup selama tujuh tahun lamanya, kondisinya sudah tidak layak untuk ditempati kembali.
( s e l e s a i )
Biografi Penyusun:
Nama : rusmaneffendy (rusman nur)
Alamat rumah : Dsn. Kubangreja Rt 1 Rw 2 Desa Tambaksari
email : rusmaneffendy70@gmail.com
Tlp/Wa 081903435131,085220058025