A
Perjuangan menyebarkan siar Agama Islam ke tanah Tambaksari Kec. Wanareja.
Berawal dari kisah perjalanan seorang
pemuda santri pesantren yang berasal dari TANJUNGRASA yang terletak
dilingkungan keraton Kasultanan Cirebon sekaligus masih keturunan
kasultanan Cirebon, saat itu kasultanan Cirebon terpecah menjadi tiga wilayah
kekuasaan yang memegang masing-masing wilayah diantaranya:
1. Sultan Karaton Kasepuhan Pangeran Martawijaya dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin ( 1677-1703)
1. Sultan Karaton Kasepuhan Pangeran Martawijaya dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin ( 1677-1703)
2. Sultan Kanoman Pangeran Kartawijaya dengan gelar Sultan Anom Abil
Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
3. Pangeran Wangsakerta sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran
Abdul Kamil Muhammad Nasrudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713)
Sekitar tahun 1700 gurunya mengutus santri Tanjungrasa untuk menyebarkan ajaran
agama Islam ke KUNINGAN dan KAWALI, selanjutnya menuju wilayah Dayeuhluhur merupakan kadipaten bawahan kasultanan mataram, waktu itu dipimpin
seorang Adipati yang bernama WIRAPRAJA (1698-1740). Setelah diterima dihadapanNya menghaturkan maksud dan tujuan untuk menyebarkan ajaran agama islam, maka ditunjuklah suatu tempat yang berada disebelah timur dari pusat pemerintahan kadipaten. Bahkan beliau berpesan temuilah
seorang ulama besar di Pesantren Cicadas (masuk kadipaten Majenang) namanya
Kyai SURADIKA, masih kerabat kerajaan Dayeuhluhur anak dari Mbah CIPTAGATI adik
dari PRABU RAKSAGATI Raja Kerajaan Dayeuhluhur ke V dari trah Pajajaran.
Keramat Pamalayan di Tambaksari |
Sebagai seorang tamu yang baru datang, beliau diterima dengan sangat ramah dan kekeluargaan beserta jamuan yang dihidangkan oleh Nyi SARI. Setelah menghaturkan maksud dan tujuan kedatangannya, yaitu untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Akhirnya melalui ajakan dan ceramah mengenai ajaran yang dibawanya, maka masuklah keluarga Ki GEDENG TAMBAK beserta istri dan anaknya begitu juga penduduk setempat semuanya memeluk agama Islam dan meninggalkan agama yang diajarkan karuhun leluhurnya. Selanjutnya, dibantu penduduk setempat beliau mendirikan Mushola juga tempat untuk mengkaji agama islam dan ilmu tentang Al qur’an yang letaknya di keramat Pamalayan. Disitulah dulunya pernah berdiri sebuah pondok pesantren yang dipimpin langsung Kyai Tanjungrasa. Salah satu santrinya adalah Nyi Ageng Tambak selain pintar mengaji juga parasnya yang sangat cantik.
Suatu hari, Kyai TANJUNGRASA
berkunjung ke rumah Ki Gedeng Tambak hendak melamar anaknya yaitu Nyi Ageng
Tambak untuk diperistri. Alangkah gembiranya hati kedua orangtuanya, tanpa
berpikir lama langsung saja merestui keduanya. Tidak ada sumber yang
menyebutkan, hari, tanggal dan tahun berapa dilangsungkan pernikahannya
tersebut. Ada yang menyebutkan sudah bertahun – tahun lamanya tidak dikarunia
anak satupun alias gabug ( tidak punya keturunan ). Faktanya sampai sekarang
tidak ada seorangpun yang mengaku sebagai trah keturunan dari Eyang Dalem
Tanjungrasa.
B. Mendirikan Desa Tambaksari Kec. Wanareja - Cilacap
a. Musyawarah Di Bale Bandung ( Dulunya adalah tempat kediaman Ki Purwa Kencana dan istrinya, seorang Jagabaya Kerajaan Dayeuhluhur pada masa rajanya Prabu Aria Gagak Ngampar, sengaja ditempatkan disana untuk pengamanan wilayah timur yang menganut agama Hindu. Setelah kedatangan Kyai
Tanjungrasa, keturunannya di-Islamkan sementara rumahnya dijadikan tempat bermusyawarah para Tokoh Desa Tambaksari pada saat itu ) tempatnya kira-kira 500 m ke arah timur dari Pamalayan.
Setelah Ki Gedeng Tambak dan
istrinya meninggal dunia pimpinan seorang kepala kampung diserahkan kepada
menantunya yaitu Kyai Tanjungrasa. Penunjukan itu adalah hasil musyawarah para tokoh
masyarakat kampung Pamalayan. Dalam musyawarah Kyai Tanjungrasa menyampaikan
keinginannya untuk mendirikan sebuah pemerintahan desa. Anggota musyawarahpun menyetujui
akan usulannya itu. Begitu juga nama desanya penggabungan nama almarhum/almarhumah mertuanya sendiri GEDENGTAMBAK dan SARI menjadi TAMBAKSARI, yang artinya kuranglebih
: Tambak = Bendung, Sari = Rasa, jadi Orang Tambaksari diharapakn bisa
membendung perasaan hatinya dari Hawa Napsu. Ditentukan pula pusat
pemerintahan, sekarang menjadi Balai dusun Tambaksari, dulunya adalah Balai desa
Tambaksari Yang dipimpin langsung oleh Kuwu KYAI TANJUNGRASA. Peristiwa itu
terjadi pada tahun 1740 M.
b. Berkunjung ke
Cicadas ( masuk Ds. Malabar sekarang)
Seiring berjalanannya waktu,
tibalah saatnya Kyai TANJUNGRASA untuk melanjutkan perjalanan siar agama islam
kearah timur meneruskan pesan dari Adipati Dayeuhluhur yang sempat tertunda.
Setelah berpamitan kepada istri serta penduduk setempat tidaklah merasa
keberatan untuk melanjutkan perjuangannya. Kyai TANJUNGRASA berpesan
kepada istri juga santrinya Kyai SUKAHAYU untuk melanjutkan perjuangannya (Pusara Kyai Sukahayu terletak di Kramat Pamalayan). Jangan lupa
sholat lima waktu dan menjalankan syari’at agama islam yang diajarkan selama
ini. Sebelum meninggalkan Pamalayan, beliau sempat menanam sebuah pohon Kiara
JAMBEKONENG, maksudnya sebagai tanda bahwa beliau pernah menempatinya, dengan
harapan apabila akan kembali lagi sudah menjadi pohon yang tinggi dan besar /
kiara ( bhs. Sunda ).
Perjalanan dimulai dari Pamalayan
dilanjutkan kearah timur sampailah disuatu tempat yang diberi nama
SINGKUP, Disana juga beliau menanam pohon kiara Jambekoneng yang tetap tumbuh
sampai sekarang. Dilanjutkan menuruni lereng bukit yang banyak di tumbuhi pohon
JATI, maka tempat itu sampai sekarang di namakan Blok JATI masuk Dusun
Tambleg.
Singkat cerita, Sampailah beliau
ditempat yang dituju yaitu Cicadas. Tempat dimana terdapat sebuah Pesantren yang dipimpin seorang ulama besar saat itu yaitu Kyai SURADIKA. Dalam menyebarkan
siarnya beliau dibantu santrinya yaitu SURADIPA dan MASKIAN keduanya merupakan
anak hasil dari perkawinannya dengan DEWI MASKIAH putri dari Adipati
Dayeuhluhur WIRAPRAJA. Setelah menyampaikan pesan dari Adipati sekaligus
sebagai mertua Kyai Suradika, untuk membantu perjuangan dalam mengembangkan
ajaran agama islam dan perjuangan mengusir penjajah Belanda yang saat itu telah
menguasai kerajaan MARGALUYU.
Selama Kyai Tanjungrasa
mengabdikan diri pada pesantren Cicadas membantu mengajarkan ilmu tentang agama
islam yang telah diperoleh di Cirebon. Kyai Suradika merasa senang hatinya
karena santrinya telah mendapatkan tambahan ilmu. Begitu pula Suradipa dan Maskian
semakin dekat saja hubungan ketiganya. Tetapi alangkah sedih hati mereka
tatkala mendengar bahwa Kyai Tanjungrasa dan ayahnya akan meninggalkan pergi ke Dayeuhluhur, untuk menjalankan tugas membela tanah air agar bebas dari
tangan para penjajah. Namun Suradipa memohon kepada ayahnya agar bisa ikut
berjuang membela negeri tercinta ini. Kyai Suradika pun memberikan ijin kepada
Suradipa untuk ikut dengannya, sementara Maskian tetap tinggal di pesantren
untuk menggantikan ayahnya menjadi pimpinan pesantren.
C.
Berperang Ke Karajaan Margaluyu ( Ciamis Jawabarat )
Sebelum berangkat ke Dayeuhluhur
Kyai Tanjungrasa ditemani Kyai Suradika dan Suradipa, terlebih dulu menyempatkan
berpamitan kepada keluarga yang akan ditinggalkan. Minta ijin serta doa istri
yang berada di Pamalayan, tidak ketinggalan masyarakat Pamalayan pun memberikan
dorongan doa dengan harapan supaya sekembalinya dari peperangan dengan selamat.
Sampailah Kyai Tanjungrasa, Kyai
Suradika dan Suradipa di pusat pemerintahan Kadipaten Dayeuhluhur diterima langsung dihadapan Adipati WIRAPRAJA. Ketiganya mengahaturkan
sembah sungkem dan menunggu apa yang akan diperintahkan kepadanya. Mereka
ditugaskan membantu prajurit untuk menyerang kerajaan MARGALUYU karena saat
itu sudah dikuasai oleh Belanda. Sebelum berangkat masing-masing dibekali
sepucuk Pistol, sebuah keris dan Tumbak agar bisa menjaga diri diharapkan
sebagai alat untuk dapat mengalahkan musuh – musuhnya nanti di medan perang.
Pasukan kerajaan dipimpin
langsung oleh Adipati WIRAPRAJA, Dibelakangnya pasukan prajurit yang
gagah perkasa. Tidak ketinggalan pejuang asal Tambaksari dan pesantren
Cicadaspun ada didalamnya. Sebelum melancarkan serangan, pasukan
diperintahkan berhenti sejenak (ngarandeg-bhs, sunda) untuk istirahat
memulihkan tenaga setelah perjalanan jauh sekali. Ahirnya tempat tersebut
dinamakan RANDEGAN sampai sekarang masuk wilayah KOTATIP KOTA BANJAR PATROMAN.
Tak lama kemudian pasukan tambahan dari Kerajaan PASIRLUHUR dan MATARAM pun datang, maka
lengkaplah sudah apa yang telah direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya
telah berkumpul ditempat yang telah di tentukan.
Genderang peperangan di kerajaan
MARGALUYU sudah dimulai, Serangan ini merupakan serangan balasan, karena pada
saat itu sebagian wilayah Kadipaten Dayeuhluhur telah dikuasai kerajaan
Margaluyu. Para prajurit dengan gagah berani menumpas musuh-musuhnya. Hasilnya
sangat memuaskan, prajurit musuh lari tunggang langgang. Darahpun telah
membanjiri kota kerajaan, yang menimbulkan bau anyir/AMIS (bhs jawa) maka tempat itu
dinamakan CIAMIS sampai sekarang menjadi sebuah kota kabupaten di Jawabarat.
Kedudukan kotaraja telah beralih,
kini prajurit Dayeuhluhur telah menguasai Margaluyu. Namun serangan balik dari prajurit
Margaluyu datang kembali dibantu tentara penjajah Belanda dengan menggunakan
peralatan perang yang lebih moderen sehingga perlawanan tidak seimbang
mengakibatkan parajurit Dayeuhluhur kalah. Bahkan yang sangat menyedihkan Adipati
Wirapraja gugur dalam peperangan. Jasadnya dibawa ke Dayeuhluhur dimakamkan di
Pesarean kulon (sumber sejarah-dayeuhluhur.blogspot.com)
D. Kembali ke Pamalayan Desa Tambaksari
Setibanya di Dayeuhluhur dengan
duka yang mendalam semua pembesar kadipaten maupun rakyatnya tidak
menjadikan hati Kyai Tanjungrasa patah semangat. Beliau kembali ke Tambaksari
menengok keluarga yang telah lama ditinggalkan, ditemani DIPADIRANA dan
DIPAKERTA serta kakak perempuannya seorang muslimah bernama Nyi ARUMSARI yang
nantinya menjadi istri yang kedua setelah berpisah dengan Nyi Ageng Tambak. Suradipa memilih tinggal dulu di Dayehluhur (sumber cerita Suradipa
menikahi putri Dayeuluhur menurunkan kuwu Desa Tambaksari. Sementara Eyang Suradika kembali ke Pesantren nya di Cicadas.
Diceritakan pula DIPADIRANA pergi meninggalkan Tambaksari untuk menyebarkan agama islam ke daerah Bantar Kec. Wanareja sampai akhir hayatnya.
Sementara Eyang DIPAKERTA menjadi seorang petani yang berjasa membuka hutan diolah menjadi lahan pesawahan. Setelah beliau meninggal dunia, karena tidak mempunyai keturunan maka seluruh hartanya dihibahkan kepada pemerintah Desa. Termasuk sawah seluas 1.3 Ha yang dijadikan lahan sebagai imbalan bagi siapa saja yang menjabat Kuwu sampai sekarang dengan sebutan Sawah BENGKOK Desa.
Diceritakan pula DIPADIRANA pergi meninggalkan Tambaksari untuk menyebarkan agama islam ke daerah Bantar Kec. Wanareja sampai akhir hayatnya.
Sementara Eyang DIPAKERTA menjadi seorang petani yang berjasa membuka hutan diolah menjadi lahan pesawahan. Setelah beliau meninggal dunia, karena tidak mempunyai keturunan maka seluruh hartanya dihibahkan kepada pemerintah Desa. Termasuk sawah seluas 1.3 Ha yang dijadikan lahan sebagai imbalan bagi siapa saja yang menjabat Kuwu sampai sekarang dengan sebutan Sawah BENGKOK Desa.
Kepulangan dari dayeuhluhur Kyai Tanjungrasa datang di Pamalayan pada tengah
malam, mendapati istrinya sedang tidur nyenyak. Tidak enak rasanya untuk
membangunkan dari tidurnya, beliau masuk rumah tidak lewat pintu melainkan
melalui lobang angin-angin yang ukurannya lebih kecil dari tubuhnya, tetapi
dengan kekuasaan Allah beliau bisa masuk ke dalam rumah. Tanpa basa basi beliau
masuk ke kamar istrinya. Namun kejadian tidak disangka sangka, Beliau ditendang istrinya sampai keluar kamar, Nyi Ageng Tambak mengira ada orang lain
yang akan berlaku kurang ajar pada dirinya. Sepengetahuan Nyi Ageng Tambak, suaminya
sedang berjuang melawan penjajah, ditambah
ada kabar bahwa pasukan Dayeuhluhur kalah dalam peperangan. Anggapanya, Kyai Tanjungrasa pun gugur bersama Adipati dan pasukannya, padahal hanya
Adipati Wirapraja sajalah yang gugur di medan peperangan. (catatan: kisah ini
jangan disalah artikan yang lain-lain karena itu adalah merupakan bentuk sebuah bukti kesetiaan
seorang istri kepada suaminya).
Dengan perasaan bersalah, beliau
pergi meninggalkan rumahnya dari pamalayan. Ada anggapan di masyarakat kampung Tambaksari Kyai
Tanjungrasa NGAHIYANG / SIRNA, sebenarnya sejak peristiwa itu Kyai Tanjungrasa
pergi ketempat lain bersama teman seperjuangannya.
Dengan adanya sebuah keramat dan pusara Eyang Dalem Tanjungrasa beserta Nyi Arumsari yang terletak di blok Cipari-Kubangreja Desa Tambaksari adalah sebagai bukti bahwa beliau pernah berada ditempat itu, namanya tetap harum dan melegenda sampai sekarang. Sekaligus sebagai jawaban persepsi simpangsiurnya anggapan masyarakat kampung Tambaksari bahwa Eyang Dalem Tanjungrasa ngahiang atau sirna itu tidak demikian. Yang benar adalah Eyang Dalem Tanjungrasa pergi dari Pamalayan, dengan maksud memindahkan pusat pemerintahan desa dari kampung Tambaksari ke Cikapas.
Dengan adanya sebuah keramat dan pusara Eyang Dalem Tanjungrasa beserta Nyi Arumsari yang terletak di blok Cipari-Kubangreja Desa Tambaksari adalah sebagai bukti bahwa beliau pernah berada ditempat itu, namanya tetap harum dan melegenda sampai sekarang. Sekaligus sebagai jawaban persepsi simpangsiurnya anggapan masyarakat kampung Tambaksari bahwa Eyang Dalem Tanjungrasa ngahiang atau sirna itu tidak demikian. Yang benar adalah Eyang Dalem Tanjungrasa pergi dari Pamalayan, dengan maksud memindahkan pusat pemerintahan desa dari kampung Tambaksari ke Cikapas.
E.
Pusat Pemerintahan Desa Tambaksari dipindahkan ke CIKAPAS.
Kembali beliau meninggalkan
Pamalayan yang kedua kalinya bersama teman seperjuangan yaitu, DIPAKERTA,
ARUMSARI dan DIPADIRANA. Dengan menuruni lereng Gunung GAGAYUNAN sampailah disuatu tempat (sawah cobaan nama sekarang...Baca juga Disitulah beliau mendiamai tempat
itu ( NAMBLEG, bhs sunda ) maka sampai sekarang wilayah itu dinamakan Kampung
TAMBLEG. Disanalah mereka bertemu di rumah Eyang GUNA serta LINGGA
Untuk sementara waktu beliau
menempati tempat itu, menurut cerita rumah Eyang Guna terletak diatas NUSA sebelah timur
jalan sedangkan rumah Kyai Tanjungrasa dan temannya diatas NUSA disebelah
barat jalan Cobaan ( Nusanya sampai sekarang masih ada dan terawat ).
Tidak banyak yang dikerjakan ditempat itu, tetapi dari hasil musyawarah berempat mendapat kesepakatan untuk
memindahkan pusat pemerintahan Desa Tambaksari ke tempat yang baru. Tempat yang
dipilih adalah lahan kebun kapas, yang diapit sebelah timur hulu
sungai Cikapas yang bermuara ke Sungai Cibaganjing dan sebelah barat hulu
sungai Cirangkong juga bermuara ke sungai yang sama selanjutnya
tempat itu dinamakan CIKAPAS ( sekarang blok Desa – Kubangreja Desa Tambaksari). Beliau
bersama-sama teman seperjuangan, Eyang Guna dan Lingga dibantu masyarakat
mendirikan sebuah Balai Desa yang terbuat dari 4 tiang penyangga dipilih dari
kayu kualitas terbaik saat itu, memakai atap berbahan dari ijuk yang
sangat kuat untuk menahan cuaca panas maupun dimusim penghujan sekalipun.
Bangunan itu nantinya digunakan untuk tempat pertemuan para aparat desa
dengan rakyatnya.
Sumber cerita menyebutkan bahwa kedudukan Balai Desa yang terletak di Cikapas dilanjutkan oleh beberapa generasi Pejabat Kuwu Setelah Eyang Dalem Tanjungrasa diantaranya: Kuwu Bangsareja, Sajeg, Surawijaya, Sawal, Surasantana, Astasantana dan Sukarno. Setelah Desa Tambaksari dinyatakan aman dari kebiadaban pemberontakan DI/TII, tahun 1962 Balai Desa Tambaksari yang semula di Cikapas dipindahkan oleh Kuwu Sukarno ke Blok Karangsenang - Kubangreja sampai sekarang) dengan pertimbangan setelah ditinggal mengungsi ke Singkup selama tujuh tahun lamanya, kondisinya sudah tidak layak untuk ditempati kembali.
Sumber cerita menyebutkan bahwa kedudukan Balai Desa yang terletak di Cikapas dilanjutkan oleh beberapa generasi Pejabat Kuwu Setelah Eyang Dalem Tanjungrasa diantaranya: Kuwu Bangsareja, Sajeg, Surawijaya, Sawal, Surasantana, Astasantana dan Sukarno. Setelah Desa Tambaksari dinyatakan aman dari kebiadaban pemberontakan DI/TII, tahun 1962 Balai Desa Tambaksari yang semula di Cikapas dipindahkan oleh Kuwu Sukarno ke Blok Karangsenang - Kubangreja sampai sekarang) dengan pertimbangan setelah ditinggal mengungsi ke Singkup selama tujuh tahun lamanya, kondisinya sudah tidak layak untuk ditempati kembali.
( s e l e s a i )
Biografi Penyusun:
Nama : rusmaneffendy (rusman nur)
Alamat rumah : Dsn. Kubangreja Rt 1 Rw 2 Desa Tambaksari
Alamat Blog : rusmaneffendy70.blogspot.com
email : rusmaneffendy70@gmail.com
Tlp/Wa 081903435131,085220058025
diantos tikapungkur aya nu ngunggah teh,hayang apal sajarah lembur....hatur nuhun
BalasHapussami sami, ieu mah sanes sajarah namung carita sepuh anu dituangkeun kana bentuk tulisan, mudah mudahan aya mangfaatna
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusmangga Roni Agfhian, bisi aya masukan di tunggu
HapusBabad tambaksari. Sumbernya dari cerita tetua apa kitab ini?hehee
BalasHapuspada kata pengantar sudah dijelaskan, bahwa cerita ini sumbernya dari cerita turun temurun para karuhun penyatuan dari berbagai versi tapi maksud dan tujuannya sama
Hapusterimakasih ceritanya..
BalasHapuscerita tentang "terong peot" saya tunggu ...
"terong peot" yang mana? makam 1 bakom? skarang masih dalam pencarian data, insyaallah dalam waktu dekat akan kami tampilkan
Hapusya... sekitar bakom jalan ke arah jati ...dulu waktu jalan belum diaspal ada di tepi timur jalan ...setelah diaspal ada di tepi barat jalan ..
BalasHapuskalau bisa info cerita tentang gegayunan ...foto dan asal usul
terimakasih
itu salah satunya alasan pemindahan ke sebelah barat jalan,karena tertabrak pelebaran jalan. berdasarkan kesepakatan kadus tambleg Madromi dan kuncen saat itu sekaligus pemugaran dibangunnya makom baru.
BalasHapusklw Gagayunan, perlunya tambahan cerita karena data yang di dapat sangat minim sekali. kalau anda punya tambahan cerita silahkan krimkan aja
dulu pernah jadi "bolang" bocah petualang naik kepuncak gegayunan bersama beberapa anak tambleg al. mang tarwa (yg lain lupa)karena karena penasaran katanya ada batu yg gegayunan diikat akar pohon. tapi sampai puncak gagal melihat batu itu karena hutannya lebat sekali susah ditembus dan banyak jejak jejak babi hutan. akhirnya perjalanan diteruskan naik ke utara melewati air terjun kecil sampai menemukan jalan ke arah hanum .tapi kita belok kekanan kearah jati trus pulang ke tambleg ... ha ha haa cerita lama
BalasHapusoo,,,sebegitunya ya menarik juga ceritanya, maaf klw bleh tau dengan siapa ini? org desa tbk sari bukan? rasa2nya belum pernah ktemu
Hapusinsyaallh kdepan di tampilkan dengan fotonya, intinya batu gagayunan itu adalah sebagai bukti perang tanding jarak jauh orang sakti jaman baheula yg saling lempar dari kejauhan yg tak terhingga. sekilas tidk dapt dimengerti, namun begitu adanya. boleh percaya boleh tdk itu hanya cerita legenda
salam kenal saya iwan basir anaknya ibu wasiti incuna ki wiryadi (posisi rumah sekarang ditempati mang dahlan)tambleg tambaksari. waktu kecil sering main ke tambleg mbolang ha ha haa ...hampir seluruh tambaksari sudah saya jelajahi dari sawah tonjong di selatan sampai ke hutan sukapacet diutara ..dari kontrak di timur sampai sampai citenjolaut di barat . sudah lama nggak tengok lembur, ingin rasanya silaturahmi kesana...sekarang tinggal di kudus.
BalasHapussalam kenal kembali, klw panca kaki mah masih saudara atuh, klw aki wiryadi adalah anak dari eyang DASPAN, eyang Daspan punya adik namanya Buyut saya namanya yut DASLIM, Jadi kita msh sodaraan walaupun sdh agak jauh pastinya masih satu Bao, tanya aja sama ua Dahlan pasti tau
Hapusbagus klw sdh di jelajahi mah tndanya masih cinta ka lembur, mudh2an blog saya bisa membantu untuk mengenal lebih dalam lagi untuk mengetahui informasi pada jaman silam
tinggal di kudus? belum lama saya pergi ziarah ke kudus bersma rombongan, tepatnya Sunan kudus. jauh ga dari situ?
di kudus selain sunan kudus di masjid menara ada juga sunan muria lokasinya di gunung muria ...kalau ke sunan muria lewat depan rumah.
BalasHapusawalnya, dari masjid demak, sunan kalijaga, sunan kudus terus sunan muria diatas gunung muria, berarti kelewatan ya? sebelah mana tuh?
Hapusya kelawatan depan rumah .. tepatnya 300 m utara perempatan lampu merah terakhir menuju ke gunung muria.
BalasHapusok mkasih sekali informasinya, dan terimakasih juga telah mampir di blog saya yg sangat sederhana ini, bgemana tanggapan mengenai isi keseluruhannya, mf sy masih belajar?
BalasHapusBlog ini cukup informatif ...terlebih bila disertai foto foto yang menarik dari desa ini baik foto baru maupun foto kuno
BalasHapusmaksaih skali dgn saranya
BalasHapusPunten.. mau tanya di tambaksari ada nama kiara lawang.. nah bukan kiara yg di tanam eyang sukahayu?
BalasHapusSip, anda sdh tau
HapusSae pisan ,diantos sejarah nu sanesna. , di daerah Babakan cimalo ,Bantar,, Aya Maqom saur pun Abah alm,,. Saurna Maqom eyang dipadirana.....
BalasHapusteras di makam cileuleunjing Bantar ,, saur pun Abah alm,, Aya Maqom,, Ki DIPA ,Ki BADING ,KI NATAYUDA(Abah Enggot),manawi terang silsilahna ,, para Karuhun diluhur nyuhunken wedaranna ,, haturnuhun pisan,, diantos.
Sae pisan ,diantos sejarah nu sanesna. , di daerah Babakan cimalo ,Bantar,, Aya Maqom saur pun Abah alm,,. Saurna Maqom eyang dipadirana.....
BalasHapusteras di makam cileuleunjing Bantar ,, saur pun Abah alm,, Aya Maqom,, Ki DIPA ,Ki BADING ,KI NATAYUDA(Abah Enggot),manawi terang silsilahna ,, para Karuhun diluhur nyuhunken wedaranna ,, haturnuhun pisan,, diantos.
Diluhur parantos dikisahkeun, perjalanan eyang DIPADIRANA angkatna ti Dayeuhluhur teras ka Tambaksari dugi ka Bantar nyaeta dina raraga penyebaran siar agama islam.
HapusPerkawis sislsilah mah upami teu salah : Kawitna ti Eyang Suradika puputra Eyang Suradipa/Dipa puputra Dipadirana/Suradirana nu saterasna puputra di Dayeuhluhur seueur2 pisan anak putuna dugi ka ayeuna. Info: https://sejarah-dayeuhluhur.blogspot.com versi Alimin Suprayitno (salah sawios putuna) hatur nuhun
Assalamualaikum.punten ngadangu asal usul persi ti pun bapak mah(BPK.sutrisno alias Buyung)desa Tambaksari teh gabungan antara 2 desa nyaeta desa cikapas(eyang dalem tanjung rasa)sareng desa Sindang kasih(eyang dalem sangiang)punten manawi janten koreksi
BalasHapusEnya, bener pisan
Hapus